Hari Pahlawan
yang diperingati setiap tanggal 10 November adalah untuk mengenang peristiwa
heroik rakyat Surabaya melawan tentara Inggris. Namun perlu pula dikenang
peristiwa yang mengawalinya. Pertempuran 28-30 Oktober 1945 merupakan
"palagan" yang sebenarnya, di mana pasukan Indonesia memaksa Inggris
mengibarkan bendera putih.
Tentara Inggris mendarat di Surabaya untuk
menegakkan ketertiban dan keamanan, membebaskan semua tawanan perang Sekutu,
mengevakuasi interniran, melucuti, dan memulangkan tentara Jepang. Pasukan yang
dikirim ke Surabaya adalah Brigade ke-49, Divisi 23 India, di bawah komando
Brigjen Mallaby. Kekuatannya
4.000 orang, terdiri dari batalyon Mahrattas dan Rajputana Rifles.
Perwira-perwira komandannya campuran, Inggris dan India.
Pemerintah RI di Jakarta, meminta pemerintah
daerah, TKR (Tentara Keamanan Rakyat) dan para pejuang di Surabaya menerima
baik dan membantu kelancaran misi Inggris. Karena goodwill ini merupakan bagian
dari langkah RI untuk mendapatkan pengakuan dari Sekutu, pemenang Perang Dunia
II.
Pimpinan tentara Inggris, dua kali bertemu
dengan pimpinan pemerintahan dan tentara Indonesia di Surabaya. Pertama pada
hari pendaratannya, 25 Oktober 1945 dan kedua, 26 Oktober. Pertemuan
berlangsung dalam suasana bersahabat. Namun pihak Indonesia memperingatkan
tidak boleh ada satu pun Belanda membonceng pasukan Sekutu ini. Inggris
menjamin hal itu tidak akan terjadi. Kedua belah pihak sepakat bekerja sama
menjaga ketentraman dan ketertiban. Dan agar kerja sama bisa berjalan baik,
dibentuk Contact Committee.
Mentaati niat baik pemerintah pusat, pimpinan
perjuangan di Surabaya juga menunjukkan sikap yang luwes. Namun
kelonggaran-kelonggaran yang diberikan itu dimanfaatkan Inggris untuk
melebarkan dislokasi pasukannya sampai di luar kesepakatan bersama. Mereka
antara lain memperkuat posisi di tempat- tempat strategis seperti lapangan
terbang Tanjung Perak, perusahaan listrik ANIEM, stasiun kereta api, kantor pos
besar dan stasiun radio di Simpang.
Sikap baik RI ini disalahgunakan pula oleh
satuan intel brigade yang melakukan raid ke penjara Kalisosok, untuk
membebaskan seorang kolonel angkatan laut Belanda (yang ditangkap pemuda saat
menjalankan tugas untuk Sekutu) serta perwira-perwira dan staf RAPWI
(Rehabilitation of Allied Prisoner of War and Internees) yang ditahan di situ.
Inggris juga mengacau di Nyamplungan, menangkapi sejumlah pemuda dan Ketua BKR
setempat, serta menyerobot kantor Polisi RI Bubutan dan penjara Bubutan.
Kepercayaan terhadap Inggris serta merta
berbalik curiga, ketika pada pagi 27 Oktober, sebuah pesawat Inggris
menyebarkan pamflet yang isinya menuntut rakyat menyerahkan kepada Inggris
semua senjata dan peralatan militer. Yang tidak mematuhinya akan dihukum mati.
Seruan ini dikeluarkan oleh Panglima Divisi ke-23, Mayjen Hawthorn (bermarkas
di Jakarta dan wewenangnya meliputi Jawa-Bali-Lombok). Pihak Indonesia
mencurigai keras Inggris tengah membuka pintu untuk Belanda kembali ke sini.
Pemimpin-pemimpin RI di Surabaya memperingatkan
Mallaby bahwa leaflet Hawthorn dan perbuatan yang dilakukan pasukannya
mengingkari perjanjian yang telah disepakati. Para pemuda Surabaya bereaksi
dengan meringkus serdadu-serdadu Inggris yang menduduki Nyamplungan dan
Bubutan. Sejumlah prajurit Inggris dan India yang sedang pesiar di kota juga
diculik dan dibunuh. Sebaliknya, tanggal 28 Oktober, Inggris melakukan
perampasan senjata dan mobil-mobil pemuda.
Sore harinya, pimpinan TKR memutuskan melakukan
serangan umum terhadap semua posisi Inggris di Surabaya. Radio pemberontak
berulang-ulang mengumandangkan panggilan pada rakyat untuk mengangkat senjata
dan menyerang secara serentak kedudukan pasukan Inggris. Sore dan malam hari
itu juga pecah pertempuran sporadis di berbagai tempat di kota.
Pertempuran besar meletus pagi 29 Oktober.
Serangan fajar TKR dibuka pukul 05.00. Tembakan pistol, senapan, senapan mesin
berat dan ringan sampai mortir saling bersahutan. Asap membumbung di atas kota
Surabaya. Para tawanan perang dan kaum interniran yang sudah bergembira
menunggu pembebasan mereka, kembali ciut hatinya, karena terkurung di
tempat-tempat penampungan yang sekitarnya telah menjadi ajang pertempuran yang
sengit.
Pasukan Inggris terjepit, bahkan seantero
Brigade 49 ini terancam musnah. Kesalahan mereka adalah menganggap enteng
perlawanan rakyat dan TKR, lalu menghadapinya dengan satuan-satuan kecil yang
terpecah-pecah di berbagai tempat. Perbekalan pelurunya juga hanya untuk
pertempuran garis pertama. Namun, begitu terdesak, mereka pun sulit
mendatangkan bala bantuan, karena pasukan besar Inggris lainnya paling dekat
berjarak 200 mil, yakni brigade yang berada di Semarang. Amunisi dan logistik
tambahan yang didrop dari udara malah jatuh ke pihak RI.
Salah satu pertempuran dramatis berlangsung
selama lima jam di jembatan Wonokromo, sebelum akhirnya pasukan Inggris
kehabisan peluru. Dua peleton yang kebanyakan orang India terisolir dan terkepung
di situ. Mereka nyaris dihabisi oleh massa rakyat yang tidak tahu hukum perang.
Sejumlah serdadu India berteriak-teriak "Muslim, muslim..!", memohon
jangan dibunuh.
Personel TKR sekuat tenaga mencegah pembantaian
tersebut. Sisa-sisa pasukan Inggris-India itu dilarikan ke Tanjung Perak dengan
truk TKR yang mengibarkan bendera putih. Kekalahan di Wonokromo ini membuat
kekuatan Inggris terpotong dua. Satunya yang bertahan di kota dan lainnya di
sekeliling markasnya di Tanjung Perak.
Kali Mas yang membelah kota menjadi saksi
keganasan perang ini. Di sungai yang keruh itu mengambang mayat-mayat tentara
asing tersebut, sebagian tanpa kepala atau anggota badan lainnya. Menurut
sumber Inggris, korban di pihak mereka 200 orang tewas atau hilang, dan 80
luka-luka. Yang memilukan adalah nasib ratusan interniran yang terdiri dari
perempuan dan anak-anak. Konvoi truk yang mengangkut mereka dari kamp Darmo
terjebak di daerah pertempuran, dan menjadi sasaran amukan laskar rakyat.
Panglima Tentara Sekutu di Indonesia (AFNEI -
Allied Forces Netherlands East Indies), Letjen Sir Philip Christison berusaha
menyelamatkan pasukannya di Surabaya dengan meminta pemimpin RI di Jakarta
turun tangan. Atas permintaan Christison, 29 Oktober petang Presiden Soekarno,
terbang ke Surabaya, didampingi Wakil Presiden Hatta dan Menteri Pertahanan
Amir Sjarifudin. Pagi 30 Oktober, Bung Karno bersama Mayjen Hawthorn dan
Brigadir Mallaby mengadakan perundingan damai dengan para pemimpin pejuang di
Gubernuran Surabaya.